YOGYAKARTA - Tradisi i'tikaf atau berdiam diri di masjid dengan tujuan beribadah, kini telah lama menjadi bagian dari praktik keagamaan umat Islam, terutama di bulan Ramadan. Lantas bagaimana dengan fenomena itikaf dengan mendirikan tenda di masjid?
Fenomena itikaf ini memunculkan berbagai pertanyaan dan perdebatan di kalangan masyarakat, terutama mengenai hukum dan etika pelaksanaannya. Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas fenomena i'tikaf dengan mendirikan tenda di masjid, meninjau hukumnya dalam perspektif Islam.
Fenomena Itikaf dengan Mendirikan Tenda di MasjidDilansir dari laman NU Online, dalam beberapa riwayat hadis, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mendirikan tenda saat melakukan i'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
Salah satu riwayat yang sering dikutip adalah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, yang tercantum dalam kitab Shahih Muslim. Hadis tersebut mengisahkan bahwa Nabi SAW mendirikan tenda saat hendak melakukan i'tikaf, dan para istri beliau pun mengikuti jejaknya.
Namun, ketika Nabi SAW melihat banyaknya tenda yang didirikan, beliau memerintahkan untuk membongkarnya dan menunda i'tikaf hingga sepuluh hari pertama bulan Syawal.
Imam An-Nawawi, dalam kitab Syarah Shahih Muslim, memberikan penjelasan terkait hadis ini. Pendirian tenda saat i'tikaf diperbolehkan, asalkan tidak mengganggu jamaah lain.
Tenda sebaiknya didirikan di bagian belakang masjid atau di halaman masjid, agar tidak menghalangi aktivitas ibadah orang lain dan memberikan ruang yang lebih pribadi bagi orang yang beri'tikaf.
Baca juga artikel yang membahas 7 Amalan Rasulullah Sebelum Idul Fitri yang Patut Ditiru
Nabi Perintahkan Bongkar Tenda-TendaPerintah Nabi Muhammad SAW untuk membongkar tenda yang didirikan oleh istri-istrinya di dalam masjid, sebagaimana yang tercatat dalam hadits, erat kaitannya dengan potensi gangguan terhadap jamaah lain.
Al-Qadhi 'Iyadh, yang pendapatnya dikutip oleh Badruddin Al-'Aini dalam kitab 'Umdatul Qari, menjelaskan bahwa:
"Tindakan Nabi SAW tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap perbuatan istri-istrinya. Beliau khawatir bahwa motivasi mereka dalam beritikaf tidak sepenuhnya didasari oleh keikhlasan, melainkan keinginan untuk menunjukkan kedekatan dengan beliau... atau karena keberadaan tenda-tenda tersebut menyebabkan penyempitan ruang masjid dan mengganggu aktivitas di dalamnya." (Badruddin Al-'Aini, 'Umdatul Qari Syarhul Bukhari, [Lebanon: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2001], halaman 211).
Ulama Memakruhkan Memasang Tenda di MasjidGangguan yang ditimbulkan dari pemasangan tenda inilah yang menjadi alasan utama para ulama memakruhkan praktik tersebut saat i'tikaf di masjid.
Ibnu Rajab, dalam kitabnya Fathul Bari, mencatat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Imam Ahmad, misalnya, berpendapat bahwa mendirikan tenda atau sejenisnya di dalam masjid untuk keperluan i'tikaf adalah makruh, kecuali dalam kondisi cuaca yang sangat dingin.
Pengecualian diperbolehkannya pemasangan tenda saat cuaca sangat dingin ini selaras dengan konteks pemasangan tenda oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu pada musim hujan. Hal ini tercermin dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Sa'id Al-Khudri, yang menceritakan tentang mimpi Lailatul Qadar dan kondisi masjid yang basah akibat hujan.
Kondisi masjid pada masa Nabi Muhammad SAW yang masih sederhana, dengan atap dari pelepah dan daun kurma serta lantai dari tanah liat, menyebabkan air hujan mudah meresap dan membasahi lantai. Penjelasan As-Samhudi dalam kitabnya Khulashatul Wafa bi Aakhbari Daril Musthafa memperkuat gambaran ini.
Oleh karena itu, pemasangan tenda oleh Nabi Muhammad SAW dalam kondisi hujan tidak dapat dijadikan dasar pembenaran untuk pemasangan tenda dalam kondisi cuaca normal, terutama di era modern dengan bangunan masjid yang jauh lebih baik.
Selain fenomena itikaf dengan mendirikan tenda di masjid, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Ingin tahu informasi menarik lainnya? Jangan ketinggalan, pantau terus kabar terupdate dari VOI dan follow semua akun sosial medianya!
Posting Komentar