JAKARTA - Di balik tampilan warna-warni dan karakter lucu dalam game Roblox, tersembunyi potensi bahaya yang bisa mengganggu tumbuh kembang anak.
Meski populer di kalangan anak-anak usia sekolah dasar, banyak konten di dalamnya memuat unsur kekerasan, bahasa kasar, dan interaksi daring yang tidak selalu aman. Hal ini menjadi perhatian serius, mengingat anak usia dini berada pada tahap perkembangan di mana mereka sangat mudah meniru perilaku yang mereka lihat, termasuk dari gim yang mereka mainkan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, kembali mengingatkan pentingnya mengawasi aktivitas anak di dunia digital, khususnya dalam penggunaan gawai dan permainan daring seperti Roblox. Dalam kunjungannya ke SDN Cideng 2, Jakarta Pusat, saat pelaksanaan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) Sekolah, Mu’ti mengimbau para murid untuk tidak memainkan gim tersebut.
"Kalau main HP, jangan nonton yang isinya kekerasan. Yang tadi main ‘blok-blok’ (Roblox), itu jangan main yang itu ya, karena tidak baik,” ujar Mu’ti, seperti dikutip ANTARA.
Menurutnya, anak usia SD belum memiliki kemampuan kognitif yang cukup untuk membedakan mana realitas dan mana yang hanya simulasi dalam permainan. Ini berbahaya karena apa yang terlihat di gim bisa dengan mudah ditiru dalam kehidupan nyata.
"Misalnya di game itu ada adegan membanting orang, mungkin terlihat biasa saja. Tapi ketika anak meniru itu saat bermain dengan temannya, itu bisa jadi masalah,” tambahnya.
Karena itu, Mu’ti menekankan pentingnya literasi digital sejak dini, agar anak tidak terpapar konten yang tidak sesuai dengan usia mereka. Ia juga mendorong keterlibatan aktif orang tua dalam mendampingi penggunaan gadget anak, termasuk menyaring aplikasi dan game yang diakses.
"Anak-anak harus didampingi. Kita perlu pandu agar mereka hanya mengakses yang bermanfaat dan edukatif,” katanya.
Dari sisi kebijakan, Kemendikdasmen bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta kementerian lainnya telah meluncurkan Program TUNAS (Transformasi untuk Anak Sejahtera), sebagai bentuk perlindungan anak di ruang digital. Program ini disokong oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP Tunas).
Mu’ti menyatakan bahwa keberhasilan perlindungan anak tidak hanya bertumpu pada pemerintah, tetapi juga kolaborasi antara keluarga, masyarakat, dan penyedia layanan digital.
"Tolong kami dibantu untuk memberikan anak-anak layanan yang mendidik, bukan yang justru merusak mental dan intelektual mereka,” ujarnya.
Dengan penggunaan gawai yang semakin tak terelakkan di era digital, pengawasan dan edukasi menjadi kunci utama. Bukan berarti anak tak boleh bermain, tapi mereka perlu dipastikan bermain dalam ruang yang aman, sesuai usia, dan mendorong pertumbuhan yang positif.
Posting Komentar